dakwatuna.com
Ketika engkau mencintaiku, engkau menghormatiku. Dan ketika engkau membenciku, engkau tidak mendzalimiku. (Dr. Ramdhan Hafidz)
Aku
masih ingat saat malam pertama kita, saat itu engkau mengajakku shalat
Isya’ berjamaah. Setelah berdoa engkau kecup keningku lalu berkata:
“Dinda, aku ingin engkau menjadi pendampingku Dunia-Akhirat”. Mendengar
ucapan itu, akupun menangis terharu. Malam itu engkau menjadi sosok
seperti sayyidina Ali yang bersujud semalam suntuk karena bersyukur
mendapatkan sosok istri seperti Siti Fatimah. Apakah begitu berharganya
aku bagimu sehingga engkau mensyukuri kebersamaan kita? Malam itu, aku
tidak bisa mengungkapkan rasa syukurku ini dengan ucapan. Aku hanya
bisa mengikutimu, bersujud di atas hamparan sajadah. Tanpa bisa aku
bendung, air mata ini tiada hentinya mengalir karena mensyukuri
anugerah Allah yang diberikan padaku dalam bentuk dirimu. Akupun
berikrar, aku ingin menjadi sosok seperti Siti Fatimah, dan aku akan
berusaha menjadi istri sebagaimana yang engkau impikan.
Dan
ternyata sujud itu bukan hanya di saat malam pertama, setiap kali aku
terbangun pada akhir sepertiga malam, ku lihat engkau sedang bersujud
dengan penuh kekhusu’an. Aku kadang iri dengan keshalihanmu, engkau
terlena dalam sujudmu sedang aku berbaring di atas kasur yang empuk
dengan sejuta mimpi. Kenapa engkau tidak membangunkan aku? Padahal aku
ingin bermakmum padamu agar kelak aku tetap menjadi istrimu di surga.
Aku hanya merasakan kecupan hangat melengkapi tidur malamku saat engkau
terbangun untuk melakukan shalat malam. Apakah kecupan itu sebagai
isyarat agar aku terbangun dari tidurku dan melaksanakan shalat
berjamaah bersamamu? Atau karena engkau tidak tega membangunkan aku
saat engkau melihat begitu pulasnya aku dalam tidurku? Aku yakin,
dengan ketaatanmu pada agama, engkau akan membahagiakanku
dunia-akhirat. Tidakkah agama kita mengajarkan bagaimana suami harus
menyayangi istri, membuatnya bahagia, melindungi dan membuatnya
tersenyum. Dan sebaliknya, istri harus berbakti, melayani dan membuat
suaminya terpesona padanya.
Aku tidak peduli siapakah engkau,
miskin dan kaya tidak ada bedanya bagiku. Aku hanya tertarik pada
sosokmu yang bersahaja dan sederhana. Raut wajahmu yang penuh dengan
keikhlasan membuatku ingin selalu menatapnya. Lembutnya sifatmu
membuatku yakin bahwa engkau adalah suami yang bisa menerima segala
pemberian Tuhan dan akan menyayangiku apa adanya. Aku tidak peduli
dengan rumah mungil dan sederhana yang engkau persembahkan untuk kita
tempati bersama. Rumah yang hanya terdiri dari ruang tamu, kamar kita,
dan satu ruangan yang berisi buku-buku terutama buku agama. Namun dari
rumah yang mungil ini, aku melihat taman surgawi menjelma di sini. Aku
yakin engkau adalah sosok suami yang tekun belajar dan memahami agama,
dan dengan bekal ini aku yakin engkau bisa membimbingku untuk meraih
surga ilahi. Sebagaimana agama kita telah mengisyaratkan bahwa, barang
siapa berjalan dijalan ilmu, maka Allah akan mempermudah jalan menuju
ke surga.
Saat kulihat engkau begitu berbakti kepada kedua orang
tuamu dan senang menjalin silaturahim, aku yakin engkau akan berlaku
baik pada anak-istrimu. Aku lihat engkau jarang sekali berbicara, tapi
masya Allah kalau sedang bekerja, engkau menjadi sosok yang tekun dan
ulet. Dan dari cara tutur katamu, aku mendengar kata-kata mutiara yang
penuh hikmah, sehingga yang tergambar dalam pikiranku adalah sosok
Lukmanul Hakim, sosok suami dan ayah yang selalu mendidik keluarganya,
mengajarkan anaknya untuk tidak menyekutukan Allah.
Sungguh aku
bangga mempunyai suami sepertimu melebihi kebanggaanmu padaku. Aku
lebih membutuhkanmu jauh melebihi kebutuhanmu padaku. Terima kasih
suamiku, karena engkau telah membimbingku…
Subhanalloh saya menangis membacanya !!!
Yaa Allah semoga kelak jodoh saya seperti lakilaki itu.
Amiiiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar